18 November 2009

PASANG-SURUT GERAKAN ISLAM

0 komentar




Keberadaan Gerakan Islam kembali disorot belakangan ini, terutama setelah kampanye anti teroris AS. Sebagian besar daftar teroris yang disusun oleh AS dan pengikutnya, PBB, adalah gerakan-gerakan Islam. Gerakan Islam kemudian menjadi musuh bersama Barat; dimusuhi, dimata-matai, sampai diberangus oleh Barat. Mengiringi kampanye AS, pemerintah negeri-negeri Islam pun—yang selama ini memang sudah dirisaukan oleh gerakan Islam—bertambah semangat untuk memberangus gerakan-gerakan Islam. Jadi, apa yang diprediksi oleh Huntington, bahwa akan terjadi perang peradaban antara Islam dan Kapitalis setelah runtuhnya Komunisme, menjadi kenyataan.
Tentu saja, kemunculan gerakan-gerakan Islam di negeri-negeri Islam bukanlah fenomena sesaat, tetapi tumbuh seiring dengan pasang-surutnya perjuangan umat Islam di dunia. Analisis tentang latar belakang tumbuhnya berbagai gerakan Islam dewasa ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai pengamat. Analis Barat umumnya menjadikan faktor ekonomi sebagai indikator utama. Dalam pandangan ini, kondisi ekonomi yang terpuruk dan memprihatinkan di Mesir, Aljazair, Palestina, dan Sudan menyebabkan gerakan Islam menjadi pilihan masyarakat, dengan harapan, akan mampu membawa mereka pada kehidupan yang lebih layak.
Namun demikian, berkembangnya gerakan Islam di Saudi Arabia dan negara-negara petrodollar lainnya—yang memiliki tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang relatif tinggi—merupakan fenomena yang bertolak belakang dengan fakta di atas. Riza Sihbudi bahkan menyebutkan bahwa pendukung utama Revolusi Islam di Iran adalah kaum Bazaar (kelas menengah yang berprofesi pedagang). Gerakan-gerakan Islam yang semakin tumbuh subur di Eropa dan Amerika Serikat justru banyak dari kalangan menengah ke atas yang memiliki tingkat ekonomi yang mapan; bahkan dari kalangan teknokrat, cendekiawan, dan profesional.
Analis lain, seperti Roger Garaudi, lebih melihat munculnya gerakan Islam yang disebutnya sebagai fundamentalis Islam sebagai sebuah reaksi dari fundamentalis-fundamentalis Barat (zionis, stalinis, sekularis, vatikan). Di sini dia menyebutkan beberapa faktor utama yang mendorong timbulnya gerakan Islam yakni adanya kolonialisme Barat, terjadinya dekadensi Barat, dan munculnya fundamentalisme Zionis Israel.[1]
Yvonne Haddad, Profesor Sejarah Islam Universitas Massachusetts USA, menyimpulkan beberapa faktor kebangkitan Islam: (1) Terjadinya reaksi seperempat abad dari rekayasa ketidakberdayaan (response to a quarter century of disempowerment). Ini muncul akibat akumulasi gagalnya kaum Muslim, terutama dalam mempertahankan salah satu simbol Islam, al-Aqsha, di bumi Palestina—kiblat pertama, tanah suci ketiga—dalam perang Arab-Israel. (2) Adanya reaksi dari krisis keyakinan umat Islam (a response to the crisis of faith). Kegagalan-kegagalan umat Islam, salah satunya dalam mempertahankan bumi Palestina, membuat banyak dari mereka kembali ke jalan Allah, karena dianggap sebagai ujian Allah bagi umat Islam dan seleksi terbentuknya masyarakat baru yang akan membawa risalah Islam ke seluruh dunia. (3) Munculnya reaksi dari gerakan Zionisme (a response to Judaization). Terjadinya pendudukan Israel di tanah Palestina atas legitimasi agama Yahudi membuat umat Islam berusaha memperlakukan hal yang sama. Sebab, Zionisme telah dijadikan ikatan yang kuat oleh bangsa Yahudi untuk merebut tanah Palestina.
Youssef M. Choueiri lebih melihat tumbuhnya gerakan Islam akhir-akhir ini sebagai reaksi langsung terhadap implementasi konsep negara-bangsa (nation state) pada akhir abad ke-20 dan problem-problemnya. Keberadaan negara-bangsa ini dalam menjalankan pembangunannya telah mensekularkan Islam, dalam arti, menjadikan Islam hanya sebagai agama ritual saja. Gerakan-gerakan Islam kemudian muncul untuk kembali menciptakan tatanan dunia yang baru berdasarkan Islam.


Fenomena Gerakan Islam Politik/Ideologis
Di antara berbagai gerakan Islam ada yang bersifat politik dan bergerak di kawasan Timur Tengah serta Dunia Islam lainnya. Sebagian besar gerakan Islam tersebut bercita-cita menegakkan kembali Khilafah Islamiyah (negara Islam global). Gerakan Islam politik ini di antaranya ada yang memilih dan membolehkan perlawanan angkat senjata untuk mendirikan Negara Islam  seperti Jamaah Islamiyah dan Tandzimul Jihad di Mesir, termasuk NII (Negara Islam Indonesia)  di Indonesia. Sebagian memilih jalur demokrasi (perlemen) seperti FIS (Aljazair), PAS (Malaysia), dan Ikhwanul Muslimin (Mesir dan Yordania), Partai Raffah (Turki, yang telah berganti nama beberap kali), dan An-Nahdhah (Tunisia). Sementara itu, Hizbut Tahrir tidak memilih jalan bersenjata, namun tidak juga memilih jalur parlemen. Hizbut Tahrir dalam konsep dakwahnya tidak membolehkan angkat senjata dan juga mengharamkan untuk ikut dalam sistem demokrasi.
Di antara gerakan Islam tersebut, bisa disebut, Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan Islam terkemuka, terutama sejak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Imam Hasan al-Banna pada Dzul Qa‘dah 1327 H/April 1928 M, misalnya, dakwah Islamnya banyak dipengaruhi oleh Syaikh Abdulwahhab, Sanusiyyah, dan Rasyid Ridha. Pada umumnya, dakwah tersebut merupakan kelanjutan dari Madrasah Ibn Taimiyah (w. 702 H/1328 M), yang juga merupakan kelanjutan Madrasah Imam Ahmad bin Hanbal. Gerakan Ikhwan dimulai di Ismailiyah kemudian beralih ke Kairo. Dari Kairo tersebar ke berbagai pelosok dan kota di Mesir. Gerakan tersebut kemudian meluas ke negara-negara Arab. Ia berdiri kukuh di Suriah, Palestina, Yordania, Lebanon, Irak, Yaman, dan lain-lain. Dewasa ini, anggota dan simpatisannya tersebar di berbagai penjuru dunia.[2]
Sedangkan Hizbut Tahrir didirikan dan dipimpin oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1909-1979 M), kelahiran Ijzim, kampung di daerah Haifa Palestina. Pada tahun 1952. Sepeninggal an-Nabhani, Hizb dipimpin oleh ‘Abdul Qadim Zallum. Awal aktivitas Hizbut Tahrir terpusat di Yordania, Suriah, dan Lebanon; kemudian berkembang ke berbagai negara Islam. Bahkan, kini Hizb telah mencapai Afrika, Eropa, Amerika, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Tengah.[3]
Gerakan Islam yang bersifat ideologis umumnya bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang demikian parah; membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan dan hukum-hukum kufur; serta membebaskan mereka dari kekuasaan dan dominasi negara-negara kafir.
Selain gerakan Islam yang bergerak dalam bidang politik, di Dunia Islam juga muncul gerakan Islam yang harus mengangkat senjata karena secara langsung berhadapan dengan penjajah. Perjuangan bersenjata (jihad) dilakukan untuk membebaskan diri dari penjajahan asing. Hamas dan Jihad Islam mengangkat senjata melawan Zionis-Israel yang mencaplok Palestina dengan Intifadah-nya yang monumental. Kaum Muslim di Chechnya menghadapi masalah yang sama. Hingga saat ini, mereka masih berjuang melawan penjajah Rusia di negeri Islam itu. Perjuangan bersenjata melawan penjajahan ini juga harus dilakukan Muslim Moro melawan pemerintah kufur Filipina, Muslim Pattani melawan penjajah Thailand, dan Muslim Afganistan yang saat ini dikuasai oleh pasukan Amerika Serikat dan sekutunya.  
Momentum pertumbuhan gerakan Islam  ini semakin kuat dengan kegagalan ideologi nasionalisme sekular yang dipraktikkan  banyak negara dan rezim di Timur Tengah. Inilah raison d’etre (hakikat terpenting) dari kebangkitan gerakan-gerakan Islam semacam Jihad al-Islam (Syiah) pimpinan Hussein Musawi dan Hizbullah pimpinan Sayyid Muhammad Fadhallah—keduanya di Lebanon; Kelompok Dakwah (Syiah) pimpinan Imam Baqir al-Sadr di Irak, serta At-Takfir wa al-Hijrah dan Tanzhim al-Jihad—keduanya di Mesir.[4]

Gerakan Islam vs Penguasa Sekular
Keberadaan gerakan-gerakan Islam tentunya tidak dibiarkan begitu saja oleh penguasa di masing-masing negeri mereka. Ide yang diemban dan disebarluaskan oleh gerakan-gerakan Islam ini tentunya sangat bertolak belakang dengan penerapan sistem sekular para penguasa. Karena itu, terjadilah gesekan, mulai dari penentangan atas berbagai kebijakan pemerintah sampai  terjadinya konflik antara gerakan Islam dan pemerintah. Contohnya adalah apa yang menimpa Hizbut Tahrir di berbagai negeri Islam. Pada Agustus 1984, 32 orang aktifis Hizbut Tahrir di Mesir diajukan ke meja hijau dengan tuduhan merencanakan kudeta. Disebutkan, orang-orang yang dituduh sebagai pemimpin kudeta ialah Ir. Abdulghani Jabir Sulaiman, Dr. Shalahuddin Muhammad Hasan (keduanya tinggal di Austria)—seorang doktor elektro keturunan Palestina yang dijuluki Abu Lihyah, dan ‘Alauddin Abdulwahhab Hajjaj. Saat ini, beberapa aktivis Hizbut Tahrir ditahan dan sedang diadili di Mesir, Pakistan, Turki, Uzbekistan, dan negeri-negeri Islam lainnya.
Sikap Hizb dalam menentang setiap orang yang menyeleweng dari Islam dan hukum-hukumnya telah membawa bahaya sehingga para anggotanya menghadapi berbagai gangguan dan menerima siksaan yang pedih dari para penguasa: berupa penjara, kesengsaraan, pengusiran, pengejaran, dimata-matai, diputuskan mata pencahariannya, diboikot kepentingannya, serta dilarang bepergian ke luar negeri (dicekal); bahkan di antara mereka ada yang dibunuh. Banyak anggota Hizb yang telah dibunuh oleh para penguasa zalim di negeri-negeri Irak, Syria, dan Libya. Banyak juga yang dipenjarakan di Yordania, Syiria, Irak, Mesir, Libya, dan Tunisia. Penjara-penjara di negeri-negeri tersebut penuh dengan anggota-anggota Hizb.[5]
Hal sama dialami oleh Ikhwanul Muslimin. Pada tahun 1948, misalnya, walaupun Ikhwan turut serta dalam Perang Palestina melawan Inggris, mereka dibekukan, disita harta kekayaannya, dan tokoh-tokohnya ditangkap oleh Muhammad Fahmi Nagrasyi, perdana menteri Mesir waktu itu. Hasan al-Hudhaybi (1306-1393 H/1891-1973 M), salah seorang Mursyid al-Mahdi al-Ikhwan al-Muslimun, juga berkali-kali ditangkap. Tahun 1954, ia divonis hukuman mati, tetapi kemudian diringankan menjadi seumur hidup. Tahun 1971, ia dibebaskan terakhir kalinya.
Akibat menolak kerjasama dalam pemerintahan, Ikhwan terlibat serangkaian konflik dan permusuhan dengan pemerintah yang semakin hari semakin tajam. Akibatnya, tahun 1954, pihak pemerintah melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ikhwan dan beribu-ribu orang dijebloskan ke dalam penjara. Pemerintah beralasan orang Ikhwan telah berupaya memusuhi dan mengancam kehidupan Gamal Abdul Nasher di lapangan Mansyiyah, Iskandariyah. Bahkan pemerintah Mesir telah menghukum mati 6 anggota Ikhwan.
Tahun 1965-1966 bentrokan antara Ikhwan dan pemerintah Mesir terulang kembali untuk kedua kalinya. Pemerintah kembali melakukan penangkapan besar-besaran, melakukan penyiksaan, serta memenjarakan anggota Ikhwan. Bahkan ada tiga orang yang telah dihukum gantung, di antarany Sayyid Quthb (1324-1387 H/1906-1966 M). Sepeninggal Hudhaybi, ‘Umar Tilmisani (1904-1986 M) terpilih menjadi Mursyid. Di bawah pimpinannya, Ikhwan menempuh jalan tidak konfrontatif dengan penguasa dan menyerukan, “Bergeraklah dengan bijak dan hindarilah kekerasan dan extremisme.”[6]

Pola-pola Penggembosan Gerakan
Keberadaan gerakan-gerakan Islam yang menentang sistem sekular di Dunia Islam dan Barat jelas menjadi ancaman bagi para penguasa di negeri-negeri Islam dan Barat. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menggembosi gerakan-gerakan Islam; mulai dari tindakan kekerasaan (seperti pembantaian yang terjadi di Afganistan, Chechnya, Aljazair, Mesir, Palestina, Filipina Selatan), pencitraan negatif, tuduhan kekerasaan, sampai teroris. Hanya saja, mereka melihat bahwa pembunuhan dan pembantaian terhadap gerakan Islam tidaklah bisa mematikan perlawanan mereka terhadap Barat. Apa yang terjadi saat ini di Palestina merupakan bukti jelas, bahwa pembantaian terhadap pejuang Islam di sana tidak pernah menghentikan jihad melawan Israel, bahkan ‘mati syahid’ menjadi sesuatu yang dirindu-rindukan oleh sebagian besar pemuda Palestina (Allah akbar!) Karena itu, mereka juga melakukan pola penyesatan pemikiran dan pencitraan lewat propaganda dan rekayasa intelijen. Cara ini lebih efektif, karena akan menjauhkan gerakan Islam dari umat Islam sendiri—kalau pemikiran umat bisa dipengaruhi dengan cara ini.

1. Pencitraan Negatif: Fundamentalisme
Gerakan-gerakan Islam adalah kelompok yang paling sering disudutkan. Salah satunya melalui fitnah dan pemutarbalikan fakta. Kalau ada satu prajurit Israel tewas, media massa Barat menyebutnya sebagai korban aksi terorisme. Sebaliknya, kalau Israel dengan jet-jet tempur canggih menyerang pemukiman Palestina, yang tentunya menewaskan ratusan penduduk, dimaklumi sebagai serangan balasan (retaliation),  serangan untuk mendahului sebelum di serang (preempative strike), atau tindakan hukuman (punitive action)—yang konotasinya jelas berbeda dengan aksi terorisme.
Tudingan-tudingan terhadap gerakan Islam tidak hanya di dunia politik. Hollywood, sebagai pusat khayalan dunia Barat pun, turut mengusung sindrom ketakutan terhadap Islam (islamophobia). Sejak film The Syeikh (1921) yang masih berupa film bisu sampai film-film canggih, gerakan Islam diidentikan dengan teroris dan kejelekan. The Syeikh menggambarkan syeikh-syeikh Arab di padang pasir dengan prototipe haus seks, doyan perempuan, tamak, dan licik. Gambaran ini juga muncul pada film Thief of Baghdad (1924), Arabian Night (1942), dan Son of Ali Baba (1952). Dalam perkembangan selanjutnya, film-film Hollywood penuh dengan cerita kepahlawanan melawan terorisme Arab dan Islam. Operation Thunderbolt, Delta Force (1986), Iron Eagle, Airwolf, dan Truelies adalah beberapa dari contoh yang menggambarkan cerita tersebut.
Istilah “fundamentalisme Islam”" atau “Islam fundamentalis” banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir. Penggunaan istilah fundamentalisme yang dituduhkan oleh media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, di samping bertujuan memberikan gambaran yang negatif terhadap berbagai aktivitas mereka,  bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas mereka di mata dunia.
Gerakan ‘fundamentalisme’ Islam kemudian diidentikkan dengan fundamentalisme Kristiani yang tumbuh di Barat. Dalam khazanah Barat, fundamentalis merupakan respon kalangan konservatif terhadap perkembangan teologi liberalisme, modernisme, dan gejala sekularisme di Amerika Serikat (sekitar tahun 1910-an). Bersamaan dengan itu, gerakan fundamentalisme kemudian identik dengan gerakan yang anti ilmu pengetahuan dan modernisasi, absolutisme dengan menganggap diri paling benar, eksklusivisme dalam pengertian tertutup dari realita dunia luar, fanatisme, agresivisme, dan sejumlah konotasi negatif lainnya.
Namun secara faktual, istilah fundamentalis dengan segala konotasi negatifnya sesungguhnya lebih sering digunakan oleh Barat untuk mengindentifikasikan suatu kelompok yang menentang kemauan Barat dan membahayakan kepentingan Barat. Candra Muzafar, seorang cendekiawan Malaysia, berpendapat, “Di mata Barat, yang membuat mereka dicap sebagai fundamentalis adalah keteguhan mereka dalam menolak hegemoni  Barat serta menjaga integritas dan independensi mereka. Namun, fakta ini dengan amat rapih disembunyikan. Sebaliknya, media Barat menunduh kaum fundamentalis itu sebagai fanatik, brutal, dan teroris. Ini merupakan upaya manipulasi untuk menjaga agar sekelompok orang ‘di dunia beradab’ bisa terus-menerus memonopoli kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan.” (Far  Eastern Economic Review, 23 April 1992).

2. Penisbatan Kekerasan (Terorisme)  pada Gerakan Islam
Pola penggembosan berikutnya adalah penisbatan kekerasaan pada gerakan Islam. Gerakan Islam dituduh melakukan tindakan kekerasan seperti pemboman dan pembunuhan terhadap rakyat sipil. Targetnya jelas, menimbulkan kebencian umat Islam terhadap gerakan-gerakan Islam. Untuk itu, berbagai hal dilakukan, mulai dari melakukan aksi itu secara langsung, yang kemudian dilontarkan kepada gerakan Islam;  merekaya kelompok binaan yang berjubah Islam, yang kemudian diprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasaan; bisa juga dengan merekayasa perbagai bukti seperti bom, senjata api, dan sebagainya, yang kemudian dituduhkan pada gerakan Islam meskipun gerakan Islam itu tidak menggunakan kekerasan.
Pola inilah yang gencar sekarang ini dilakukan oleh Amerika Serikat. AS dan sekutunya menjadikan peristiwa serangan terhadap WTC sebagai jaring besar untuk memasukkan setiap musuh-musuh ideologisnya ke dalam jaring itu. Jaring besar itu kemudian diberi gelar al-Qaida. Padahal, hingga saat ini tidak pernah bisa dibuktikan secara yuridis lewat bukti-bukti yang objektif bahwa al-Qaida-lah pelakunya. Untuk kawasan Asia Tenggara, AS membentuk jaring yang sama yang disebut Jamaah Islamiyah. Dengan jaring itu, kelompok, negara, bahkan orang yang menentang AS akan dikelompokkan sebagai teroris dan pengikut al-Qaida atau Jamaah Islamiyah. Hal yang sama dilakukan oleh pemerintah Aljazair dengan melakukan pembantaian terhadap rakyatnya, yang kemudian dinisbatkan pada FIS.
Pola yang lebih tinggi tingkat rekayasanya adalah menggunakan kelompok Islam yang bisa dibentuk, dibina, atau disusupi oleh intelijen pro-Barat atau penguasa sekular. Kelompok ini kemudian diprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasaan dengan mengatasnamakan Islam. Untuk kasus Indonesia, rezim Orde Baru lazim menggunakan ini, seperti dalam kasus Komando Jihad. Padahal, organisasi ini merupakan bentukan Ali Murtopo untuk mendiskreditkan kelompok Islam. Pola ini jugalah yang tampaknya harus dicermati dalam kasus bom di Bali.
Upaya rekayasa dengan cara generalisasi dan pengaitan (linkage) kekerasaan kemudian ditimpakan kepada kelompok-kelompok yang sebenarnya dalam garis perjuangannya tidak menggunakan kekerasaan. Di Asia Tengah, misalnya, penguasa Uzbekistan  Karimov (yang Yahudi dan kafir), menuduh Hizbut Tahrir melakukan kekerasaan. Karena tidak terbukti, Hizb kemudian dituduh telah memberikan landasan ide pada tindakan terorisme. Di Turki, aktivis Hizbut Tahrir dituduh telah menyimpan bahan peledak, bahkan ada yang dituduh menjadi pengedar narkotika.  Padahal, yang dilakukan aktivis Hizbut Tahrir  di seluruh dunia adalah politik non-kekerasaan seperti ceramah, diskusi, menulis di media massa, atau membagi selebaran.

3. Politik ‘Stick’ dan ‘Carrot’
Tidak berhenti sampai di sana, penggembosan gerakan Islam juga dilakukan dengan politik ‘stick and carrot’. Barat secara sistematis mengadu-domba sesama kaum Muslim dengan memilah mereka  dengan istilah militan vs moderat, scriptualis vs substansialis, politik vs kultural, moral vs politik, dan istilah-istilah lainnya. Tujuannya adalah menggunakan umat Islam sendiri untuk menghancurkan tubuh mereka. Tidak mengherankan jika kemudian terjadilah saling menyalahkan di antara umat Islam.
Untuk itu AS mendorong, memberikan dana yang besar, dan pujian kepada kelompok Islam yang dia anggap tidak berbahaya. Mereka diberikan wortel (carrot); seakan-akan begitulah seharusnya umat Islam—tidak berpolitik, tidak militan, tidak menerapkan syariat Islam secara kâffah, dan tidak berjihad meskipun ditindas. Sebaliknya,  kelompok yang menentang AS akan diberikan gelar-gelar negatif dan diberikan tongkat (stick).  AS juga memanfaatkan intelektual binaan Barat dan tokoh-tokoh Islam (baik disadari oleh sang tokoh atau tidak) untuk melakukan hal itu. Berbagai penghargaan kemudian diberikan kepada tokoh-tokoh yang dianggap sejalan dengan AS, kalau perlu, diberi gelar orang suci (the holy man). Yang justru dilakukan oleh umat Islam kemudian adalah cekcok sesama mereka sehingga mereka teralihkan bahwa musuh bersama mereka sesungguhnya adalah AS dengan sistem kapitalismenya yang kufur dan telah menyebabkan penderitaan umat.   

4.Mendorong Masyarakat Menjauhi/Melawan Gerakan Islam.
Sesungguhnya, permusuhan orang-orang dan negara-negara kafir atas kaum Muslim sangat mendalam. Apa yang dilakukan oleh AS hanyalah parameter fisik yang dapat kita lihat dan saksikan. Permusuhan mereka yang sebenarnya terhadap Islam dan kaum Muslim—yang ada dalam benaknya—jauh lebih dahsyat. (Lihat: QS ‘Ali Imran [3]: 118).
Islam telah dicap oleh AS sebagai musuhnya dengan memberikannya label “teroris” dan “ekstremis”. Tujuannya tidak lain untuk mengokohkan cengkeraman AS di negeri-negeri Islam sekaligus melestarikan dominasinya di kawasan tersebut. Oleh karena itu, setiap gerakan dari kalangan kaum Muslim yang hendak menjalankan syariat Islam melalui tegaknya institusi politik—yaitu Daulah Islamiyah—akan dimasukkan oleh AS dan sekutu-sekutunya sebagai teroris dan ekstremis. Stempel ini juga tidak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan Islam yang memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Islam tanpa kekerasan. Alasannya, semua itu dianggap oleh AS akan menghalangi dan menjadi batu sandungan bagi kepentingan dan eksistensinya di seluruh dunia.
AS berhasil memaksakan kehendaknya dengan dibuatnya banyak rekomendasi dan keputusan internasional untuk memerangi terorisme. Artinya, AS dapat menghimpun kekuatan negara-negara yang meratifikasinya sekaligus memimpin mereka untuk memukul setiap kekuatan, gerakan, partai, orang yang jelas-jelas menghalang-halangi kepentingannya.
Berdasarkan hal ini, kaum Muslim—terutama yang memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Islam dan yang menjadi sasaran langsung dari manuver politik yang disebut dengan “melawan terorisme”—wajib membentuk opini umum. Caranya adalah dengan membongkar hakikat di balik isu terorisme dan ekstremisme serta mengungkap rekayasa AS dan negara-negara sekutunya melalui tangan-tangan para penguasa Muslim dalam memerangi “terorisme”. Kita wajib membeberkan bahwa sesungguhnya AS sendirilah yang sebenarnya berada di balik aksi-aksi terorisme yang banyak terjadi di dunia. AS sengaja mendorong aksi-aksi tersebut dalam rangka memelihara kepentingan politiknya. AS mempolitisasi isu terorisme dan ekstremisme agar menjadi kendali politiknya di negeri-negeri Islam. []

H. Budi Mulyana, S.IP., alumnus jurusan Hubungan Internasional FISIP UNPAD dan aktivis pada FIWS (Forum on Islamic World Studies), Bandung.




[1]     Islam dan Fundamentalis lainnya, Pustaka
[2]     www.alislam.or.id.
[3]     ‘Abdul Qadim Zallum, Mengenal Sebuah Gerakan Islam di Timur Tengah: Hizbut Tahrir, Al-Khilafah, Januari 1993.
[4]     Azyumardi Azra, “Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis,” dalam Islamika no. 4, Mizan Bandung, 1994, hlm. 86.
[5]     ‘Abdul Qadim Zallum, op. cit.,