19 September 2009

Agar Kesucian Fitrah Terus Terpelihara

0 komentar


    Pada hari ini, kita berhimpun di tempat ini, di atas lantai masjid yang suci, sesuci batin dan jiwa kita yang telah tersepuh indah dengan kemuliaan Ramadan yang telah pergi. Di tempat ini, baru saja kita bersama-sama menggemakan pujian kebesaran kepada Allah, Rabb kita, Pemilik Segala Pujian, sehingga angkasa di sekitar kita penuh dengan gemuruh suara takbir, tahmid, dan tasbih.
       Sementara itu, bersama kita, jutaan kaum muslim—saudara-saudara kita—di seluruh dunia melakukan hal yang sama. Jutaan umat Muhammad SAW, pada hari ini, bergerak, bertasbih, bersujud, dan bertakbir bersama.   
    Saudaraku, inilah saat-saat bahagia seorang hamba Allah yang merayakan kemenangannya dari pertempuran spiritual sebulan lamanya, menaklukkan angkara-murka, yang tidak lain adalah hawa nafsunya sendiri—sebuah pertempuran yang membuatnya berubah dari makhluk material menjadi makhluk spiritual.
   Madrasah ruhani yang bernama Ramadan itu telah berlalu meninggalkan kita, tanpa ada jaminan bahwa kita akan menjumpai Ramadan yang lain pada tahun depan. Mengenang kebersamaan dengan bulan suci itu, memang kita pantas untuk menitikkan air mata. Betapa tidak, Ramadan sungguh begitu baik terhadap kita, begitu berjasa dalam menyuburkan kegersangan ruhani kita, serta begitu mengesankan pelajarannya dalam memperbaiki citra kehidupan sosial kita.
       Tentu kini masih terasa betapa nikmatnya saat-saat bahagia ketika berkumpul bersama keluarga, menunggu magrib tiba. Saat-saat syahdu ketika kita memenuhi masjid, menghadiri salat jamaah, mendengarkan ceramah, bertarawih, atau bertadarus bersama. Saat-saat hikmat ketika kita bangun pada dini hari, bersantap sahur, seraya menunggu datangnya waktu Subuh dengan zikir, istigfar, dan doa.
      Tidak ketinggalan, aspek-aspek kehidupan sosial kita pun turut mendapat limpahan berkah dan kemuliaan bulan suci itu. Bukankah selama Ramadan bersama kita, tindak kejahatan menurun, tayangan-tayangan media massa yang biasanya sarat dengan nuansa porno, menjadi ‘sedikit’ lebih menyejukkan pandangan dan perasaan, kehidupan umat beragama menjadi rukun, sehingga kedamaian yang menjadi dambaan pun tercipta?
  Dalam aspek ekonomi pun, Ramadan memberikan dampak yang positif. Produktivitas dan ekonomi masyarakat menengah ke bawah menunjukkan peningkatan. Kepedulian orang-orang kaya terhadap fuqara` dan masakin juga menunjukkan perubahan yang menggembirakan.
    Oleh karena itu, kalau efek positif Ramadan sudah kita rasakan sendiri, lantas mengapa kita tidak membuat komitmen serta janji terhadap diri kita untuk menghidupkan tradisi-tradisi Ramadan pada 11 bulan yang akan datang? 
       Maka, apabila dengan iman dan karena mencari mencari rida Allah, kita mampu melaksanakan ibadah puasa selama Ramadan, mengapa tidak kita mulai untuk mentradisikan puasa sunnah—seperti puasa Senin-Kamis—di luar Ramadan? Kalau sepanjang Ramadan kita bisa melawan kantuk serta rasa penat pada malam hari dan dengan tekun mendirikan salat Tarawih, jika kita punya kemauan jiwa yang kuat, kita juga pasti bisa mendirikan salat tahajud atau qiyamullail di luar Ramadan. Kalau selama Ramadan kita akrab dengan kitab suci kita, lalu mengapa kita tidak bisa memulai untuk membacanya di luar Ramadan? Kalau selama Ramadan, kita dengan aktif mendatangi salat jamaah di masjid dan musalla, haruskah tradisi yang sangat baik itu kita tinggalkan hanya karena Ramadan sudah berlalu?
      Marilah kita sadari bahwa selama sebulan, Allah SWT menyaksikan kita bangun pada waktu dini hari mengangungkan asma-Nya. Dia mendengar suara istigfar kita. Maka, alangkah malangnya apabila setelah Ramadan berlalu, Allah menyaksikan kita tertidur lelap, bahkan melewati waktu Subuh, bagai bangkai tak bergerak.
            Selama sebulan, bibir kita bergetar dengan doa, zikir, serta kalimat-kalimat suci. Alangkah celakanya, apabila setelah hari ini, kita menggunakan bibir yang sama untuk menggunjing, memfitnah, dan mencaci-maki sesama saudara muslim.
   Selama sebulan kita melaparkan perut dari makanan dan minuman yang halal pada siang hari. Kini, setelah Ramadan berlalu, alangkah buruknya apabila kita mengisi perut kita dengan makanan dan minuman yang tidak halal.
       Ahli hikmah berkata,
لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ اْلجَدِيْدُ *  إِنمَّاَ اْلعِيْدُ ِلمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ
“Hari raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian serba mewah. Hari raya diperutukkan bagi orang yang taatnya bertambah.”
لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ َتجَمَّلَ بِالِّلبَاسِ وَْالمَرْكُوْبِ * إِنمَّاَ اْلعِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْبُ.
 “Hari raya bukanlah untuk orang yang berhias diri dengan pakaian  dan kendaraan mewah. Hari raya diperuntukkan bagi orang yang telah diampuni dosanya.”
       Oleh karena itu, di tengah-tengah kegembiraan dan kebahagiaan kita dalam kesucian fitrah diri yang Allah kembalikan kepada kita pada hari ini, adalah sangat bijaksana apabila kita menjadikan Idulfitri ini sebagai momentum untuk memulai perubahan dalam hidup kita; komitmen untuk mengubah pola hidup kita dari kehidupan semau gue dan menabrak aturan-aturan Allah demi menuruti kemauan hawa nafsu, kepada pola hidup baru yang diridai -Nya. Sekaranglah saatnya kita membasuh kekotoran jiwa pada masa lalu dengan air mata  tobat dan penyesalan. Tingkatkan frekuensi ketaatan kita dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Camkanlah di dalam diri kita bahwa sikap ‘menahan diri’ (al-imsak) dari perbuatan dosa, maksiat, dan budaya hidup bebas dari aturan agama, seperti yang diajarkan oleh ibadah puasa kepada kita, tidaklah hanya berlaku pada bulan Ramadan, tetapi kita harus terus memelihara dan melestarikannya pada hari-hari selanjutnya agar kesucian fitrah terus terpelihara.
    Di samping itu, supaya kesucian fitrah terus terpelihara, paling tidak, ada tiga hal yang perlu kita perhatikan dengan serius. Di antara tiga hal ini, ada hal yang perlu kita jauhi sama sekali, dan ada juga yang hanya perlu kita arahkan secara proporsional.
         Pertama, kesombongan dan arogansi diri. Inilah dia ‘virus’ perusak fitrah yang harus kita basmi dari jiwa kita. Apakah kesombongan itu? Kesombongan—seperti sabda Rasulullah—adalah َاْلكِبْرُ   بَطَرُ اْلحَقِّ وَغَمْطُ) النَّـاسِ )  sikap menentang kebenaran dan meremehkan (merasa ‘lebih’ atas) orang lain. Kesombonganlah yang mengikis habis kesucian fitrah Iblis dan menggelincirkannya ke lembah kekafiran dan kesesatan, padahal menurut riwayat, sebelum Adam as. diciptakan, Iblis sudah menyembah Allah dengan taat selama 6000 tahun lamanya. Kisah Iblis abadi dalam Alquran. Di antaranya, dalam Surah al-A’raf, ayat 12 dan 13.
 Allah berfirman, "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) pada waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab,"Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". Allah berfirman, "Turunlah kamu dari surga itu, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk golongan yang hina".


Celakanya, tidak sedikit manusia yang mengikuti jejak Iblis. Mereka merasa, apa yang dimilikinya adalah hasil jerih payah sendiri dan tidak ada sangkut-paut dengan Sang Pencipta. Mereka lupa bahwa ketika dilahirkan, mereka tidak lebih daripada makhluk lemah dan takberdaya. Mereka menjadi bertenaga karena Allah yang menguatkan fisiknya.


       Kedua, faktor lain yang sering kali merusak fitrah manusia adalah pengaruh limpahan harta kekayaan. Tidak sedikit manusia yang begitu dekat kepada Allah ketika diuji dengan kemiskinan. Dengan kondisi seperti itu, ibadahnya tekun; kepada sesama, ia santun; kepada orang menderita, ia peduli. Namun, ketika rezekinya melimpah, ia pun berubah. Ujian kekayaan membuatnya lupa diri dan jauh dari Allah. Pada saat yang sama, sifat kikir dan tidak peduli dengan nasib orang yang menderita pun melekat pada dirinya, disusul dengan munculnya sifat tamak dalam jiwanya. Ia tidak hanya kikir, tetapi juga serakah. Di dalam Alquran, Allah SWT mengabadikan kisah sosok milyarder serakah dengan segala kekikirannya untuk dijadikan pelajaran dan peringatan. Dialah Qarun, sang milyarder yang kunci-kunci gudangnya saja tidak mampu dipikul oleh sejumlah orang kuat. Namun, semua kekayaan beserta keserakahan dan ketamakannya, akhirnya lenyap ditelan bumi. Kisahnya pun diabadikan Alquran Surah al-Qashash, ayat 76 s.d.84.  Dan, ironisnya, dari waktu ke waktu selalu saja muncul para penerus Qarun. Mereka tampil sebagai kaum hartawan yang gemar bermewah-mewah—berpesta-pora—di tengah mayoritas rakyat miskin dan melarat.


            Faktor ketiga yang dapat mencerabut fitrah kita dari kesuciannya adalah pengaruh kekuasaan dan jabatan. Dalam hal ini, Alquran mencontohkan Fir’aun. Fir’aun adalah sosok penguasa zalim yang merasa diri paling berkuasa, sehingga bisa berbuat apa saja. Ia tidak pernah mendengarkan hati nurani rakyatnya. Tidak seorang pun yang diperkenankan berseberangan pendapat dengannya. Dengan angkuh, ia berseru, “Akulah Tuhanmu yang maha tinggi   (أَناَ رَبُّكُمُ ْالأَعْلىَ)(QS an-Nazi’at, ayat 24). Akan tetapi, betapa pun besar kekuasaan Fir’aun, ia tetaplah manusia yang punya keterbatasan. QS Yunus, ayat 90 dan 91 merekam kisah akhir hayatnya yang berujung dengan sad ending, alias su` al-khatimah.


    Pada dasarnya, dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah fitrah. Kekuasaan adalah hak dan merupakan  salah satu di antara janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dalam QS al-Fath, ayat 29, Allah berfirman,


Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu serta mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, ....
Jadi kekuasaan tidaklah dilarang atas orang-orang beriman, bahkan kita harus menjadi penguasa, agar kekuasaan tidak dikendalikan oleh orang-orang  yang berkarakter seperti Fir’aun. Yang dilarang adalah mencemari kekuasaan dengan kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, atau kepentingan golongan.


Allahu Akbar walillahil hamd,
            Apabila kita telah dapat memahami hakikat ini, mari kita cermati firman Allah SWT:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS. al-Ma'un:1-2).
            Dari dasar kebeningan lubuk hati kita yang diselimuti oleh cahaya fitrah, kita asah kepekaan jiwa dengan firman Allah itu. Lewat telinga batin, coba kita dengarkan pilunya isak-tangis anak-anak yatim yang merindukan belaian kasih-sayang dari ibu-bapak mereka yang telah tiada. Cobalah kita kenali wajah-wajah saudara kita yang telah legam oleh sengatan matahari demi memperoleh dua-tiga suap nasi yang akan dinikmatinya sekeluarga pada hari ini.           
            Duhai kaum muslimin, Ramadan telah mendidik kita untuk terpanggil merasakan dan menanggung penderitaan mereka. Paling tidak, kita melihat diri kita di dalam diri mereka, memandang jiwa kita di dalam jiwa mereka. Sejalan dengan firman Allah SWT yang kita dengarkan tadi, Rasulullah SAW mengingatkan kita:
مَنْ َلا َيْهتَمُّ بِأَمْرِْ اُلمسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ.
Barangsiapa yang tidak menganggap penting (tidak acuh, tidak mau ambil pusing) dengan urusan kaum muslim, ia bukan golongan muslim.
            Betapa Allah Ta’ala telah mendidik kita lewat ibadah puasa dalam bentuk menahan lapar dan haus, supaya di dalam diri kita, tumbuh rasa sayang kepada mereka yang sepanjang  hidupnya bersahabat dengan rasa lapar dan dahaga. Agar kita terhindar dari karakter Qarunisme, Ramadan telah meletakkan dasar-dasar pendidikan untuk menghilangkan sifat kikir dan serakah yang menggumpal dalam jiwa kita, yakni melalui perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah,  Namun, harap dipahami bahwa 2,5 kg beras atau Rp 15.000,00 uang, itu belumlah memadai untuk meringankan derita mereka sepanjang hayat. Allah menyuruh kita untuk terus menyantuni mereka dengan zakat mal, infak, atau shadaqah dari kelebihan harta yang Allah titipkan kepada kita.
           
       ‘Ala kulli hal, mari kita menjaga kesucian fitrah yang telah kita rajut dalam bulan Ramadan dengan susah payah itu, melalui upaya keras meningkatkan kualitas pola hubungan kita bersama Allah dan sesama kita, dengan cara berjanji kepada diri kita sendiri untuk terus melestarikan apa yang kita lakukan dan capai di dalam Ramadan ke dalam hari-hari kita selanjutnya. Maka, sebelum kita beranjak dari tempat ini, untuk memulainya, mari sejenak kita menengok ke kiri dan kekanan kita. Kita mencari orang-orang yang kita cintai, entah itu ayah dan bunda kita, putra dan putri kita, saudara kita, istri atau suami kita, atau sahabat dan handai-taulan kita. Adakah mereka masih bersama-sama dengan kita pada saat ini, ataukah mereka telah berangkat mendahului kita, kembali ke hadirat Allah Yang Mahasuci? Kita periksa. Masihkah ada ayah atau ibu yang pada tahun lalu menyambut uluran tangan kita dengan tetesan air mata  kasih-sayang? Masihkah ada putra-putri kita yang pada lebaran lalu dengan gelak-tawa mereka berbagi bahagia bersama dengan kita? Masihkah ada istri atau suami kita yang dahulu memeluk kita dan mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri? Seandainya takdir Allah telah memisahkan kita dengan mereka, pada hari ini, mari kita mengenang mereka seraya mengirimkan doa agar di sana pun mereka dilimpahi Allah dengan kegembiraan.  
     Mari kita saling mengulurkan tangan, berjabatan, berangkulan, saling memaafkan dosa-dosa dan kesalahan masa lalu yang (mungkin) pernah terjadi di antara kita, agar hati kita lapang, agar Allah SWT memandang kita dengan pandangan kasih-sayang. )I(

0 komentar: